Prospek Revitalisasi Kawasan Amazon di Era Baru Lula Da Silva
Kembali terpilihnya Lula Da Silva sebagai Presiden Brazil setelah mengalahkan calon incumbent Jair Bolsonaro menyajikan serangkaian harapan baru bagi publik Brazil dan kalangan internasional. Terlepas dari urgensi perbaikan kondisi sosial dan ekonomi pasca pandemi, salah satu perubahan signifikan yang diharapkan dari hadirnya sosok Lula adalah perbaikan kondisi Hutan Amazon. Sebagai kawasan hutan terluas di dunia, keberadaan Hutan Hujan Amazon sangat penting bagi stabilitas iklim global yang mana diprakirakan kawasan ini menyimpan lebih dari tujuh puluh miliar ton cadangan karbon. Jutaan pohon di wilayah ini juga melepaskan lebih dari dua puluh miliar air ke atmosfer setiap harinya, sehingga berperan signifikan dalam sirkulasi air tidak hanya dalam skala regional Amerika Selatan melainkan di lingkup global (WWF UK, 2022). Selain itu keanekaragaman flora dan fauna di dalamnya terbilang krusial tidak hanya menjaga keseimbangan alam, namun menunjang kehidupan jutaan indigenous people penghunni kawasan Amazon. Kerusakan parah di wilayah Amazon memiliki implikasi luas, mulai dari lingkup sosial terkecil hingga pada tingkatan global. Maka dari itu revitalisasi kawazan Amazon sudah sepatutnya menjadi bagian pokok dari rencana kerja pemerintahan baru Lula Da Silva untuk beberapa tahun mendatang.
Seiring tumbuh kembang ekonomi global, keberadaan Hutan Amazon dianggap tidak lebih dari sekadar objek ekstraksi sumber daya alam. Sementara pemahaman tentang peran penting hutan sebagai penunjang kehidupan umat manusia kian terabaikan. Realitanya, angka deforestasi Hutan Amazon mengalami tren peningkatan secara fluktuatif dalam lima puluh tahun terakhir. Sehingga diestimasikan bahwa daerah Amazon telah kehilangan sekitar 500 ribu km2 wilayah hutannya hingga saat ini. Data PRODES menunjukkan angka deforestasi Amazon pada rentang tahun 1996–2000 berkisar 15–20 ribu km2 per tahun. Jumlah tersebut melonjak drastis memasuki awal dekade tahun 2000-an ketika deforestasi Amazon dapat mencapai angka 21–27 ribu km2 setiap tahunnya. Tingginya angka penebangan hutan seturut besarnya dampak lingkungan dan sosial yang dihasilkan mendorong Pemerintah Brazil di bawah kendali Lula Da Silva pada saat itu untuk menetapkan target penurunan deforestasi secara siginifikan. Alhasil angka deforestasi Amazon berhasil tereduksi pada kisaran 19 ribu km2 pada tahun 2005 hingga pada titik terendah sebesar 4,5 ribu km2 di tahun 2012 (Statistia, 2021). Meskipun demikian deforestasi Amazon kembali meningkat dan seolah tidak terbendung sampai saat ini.
Berkebalikan komitmen konservasi Lula Da Silva, Pemerintahan Jair Bolsonaro justru membawa Hutan Amazon kembali ke masa kelamnya. Di tahun pertama kepemimpinannya, tren deforestasi meningkat pesat dari 7,54 ribu km2 menjadi 10,13 ribu km2 hingga kemudian mencapai 13 ribu km2 di sepanjang tahun 2021. Puncaknya terjadi kebakaran hebat di sepanjang tahun 2019 yang menghabiskan lebih dari 9,0 ribu km2 area hutan. Destruksi kawasan Amazon tidak terhenti sampai di situ, Brazilian Space Agency mendeteksi adanya 33,11 ribu titik kebakaran sejak bulan Agustus tahun 2022. Serangkaian persitiwa tersebut berdampak luas mulai dari hilangnya keanekaragaman hayati, lenyapnya kehidupan masyarakat indigenous hingga terganggunya keseimbangan iklim global akibat terlepasnya gas karbon dalam jumlah yang masif. Situasi Amazon terkini tentunya merupakan konsekuensi atas kebijakan Bolsonaro yang cenderung anti-lingkungan. Alih-alih mengecam eksploitasi hutan yang tidak terkendali, sebagai penyebab utama deforestasi dan kebakaran yang terjadi, Bolsonaro justru melegitimasi komersialisasi Amazon atas nama pembangunan ekonomi. Sebaliknya subsidi kehidupan masyarakat indigenous serta dukungan finansial terhadap upaya konservasi direduksi. Di tengah tekanan internasional atas peristiwa kebakaran terkini, Bolsonaro membangun retorika bahwa segala bentuk keterlibatan internasional dalam masalah deforestasi dan kebakaran Hutan Amazon merupakan bentuk intervensi terhadap kedaulatan domestik Brazil.
Pengabaian Bolsonaro atas kondisi Amazon sangat kontradiktif dibandingkan kebijakan Lula Da Silva pada periode sebelumnya. Menyusul meningkatnya deforestasi Amazon di akhir dekade 1990-an, sejak awal kepemimpinannya tahun 2003, Pemerintah Brazil di bawah Presiden Lula Da Silva Bersama Menteri Lingkungan, Marina Silva, merancang Action Plan for Prevention and Control of Deforestation. Secara garis besar kebijakan ini memuat tiga aspek krusial yakni penciptaan sistem proteksi pemerintah, meningkatkan jangkauan pengawasan, dan memperkuat eksistensi hukum kehutanan. Selain itu pemerintah juga melakukan pendataan terhadap pihak yang paling bertanggung jawab atas kerusakan Hutan Amazon mulai dari lingkup komunitas masyarakat, pemerintahan lokal hingga perusahaan nasional dan multi- nasional, kemudian memaksanya untuk patuh terhadap aturan baru yang berlaku (Jackson, 2015). Pada ranah internasional Lula juga menjadikan Brazil sebagai pendukung utama penanganan krisis lingkungan dan perubahan iklim global. Dalam setiap forum lingkungan internasional, Brazil berpegang pada prinsip common but differentiated responsibilities yang merujuk pada desakan negara-negara maju untuk bertanggung jawab lebih besar dalam masalah perubahan iklim global. Namun demikian, Brazil era Lula juga mengajak pemerintah negara-negara berkembang lainnya untuk meningkatkan partisipasi dengan mereduksi emisi karbon dalam jumlah masif.
Kecenderungan kebijakan Lula dalam dua periode sebelumnya memberikan prosepek positif perbaikan kondisi Hutan Amazon pada periode ketiga kepemimpinannya. Indikasi adanya reversal policy bahkan sudah terlihat sejak masa kampanye. Di tengah besarnya perhatian publik domestik dan internasional terhadap mirisnya kondisi Amazon terkini, Lula menegaskan revitalisasi hutan merupakan agenda pokok dalam rencana kebijakan pemerintahannya, selaras misi perbaikan tatanan sosial dan ekonomi. Hal ini dapat dicapai dengan mengembalikan implementasi kebijakan pengawasan ketat, pemberian sanksi pelaku kerusakan hutan, subsidi komunitas lokal hingga maksimalisasi bantuan proteksi dan konservasi hutan yang menjadi kunci keberhasilan mengatasi kompleksnya masalah Amazon pada dua periode sebelumnya. Sesaat setelah kemenangannya, pihaknya menyerukan perlawanan bersama terhadap deforestasi dihadapan publik Brazil. Dalam pidato tersebut, Lula secara terbuka mengultimatum pelaku eksploitasi dengan menyampaikan pesan bahwa sebuah pohon di Amazon lebih berharga ketimbang keuntungan ekonomi dari ribuan ton kayu hasil penebangan liar. Meskipun telah memperlihatkan respon agresif sedari awal, perlu disadari jika ambisi pemerintahan baru merealisasikan perbaikan Hutan Amazon dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah. Pertama dari aspek birokrasi, bahwasanya apapun kebijakan pro-lingkungan yang dicanangkan perlu mendapatkan persetujuan dari pihak kongres yang masih didominasi oleh fraksi konservatif. Kedua, banyaknya elemen pemerintahan lokal yang selama ini berkepentingan besar dalam komersialisasi kawasan Amazon berpotensi menghambat implementasi kebijakan. Selanjutnya adalah diperluka tindakan ekstra, baik dari segi finansial maupun non-finansial, guna membangkitkan kembali agensi lingkungan yang beroperasi di Amazon setelah begitu dilemahkan oleh pemerintahan sebelumnya. Terakhir adalah memepertahankan dukungan publik Brazil dengan menyeimbangkan gaung narasi kontradiksi antara lingkungan dan pembangunan ekonomi dengan pemahaman mengenai manfaat perlindungan lingkungan bagi keberlanjutan kehidupan.
Mengingat tata kelola lingkungan Amazon membutuhkan partisipasi aktif aktor internasional baik negara lain maupun organisasi internasional, indikasi keterbukaan Brazil era baru terhadap skema kerjasama lingkungan mulai terlihat. Sesaat setelah terpilih sebagai presiden terpilih selanjutnya, Lula Da Silva langsung menghadiri agenda United Nation Climate Summit (COP27) di Mesir. Bertindak selaku tamu kehormataan, Lula menegaskan kembali urgensi masalah lingkungan terutama perubahan iklim global yang hanya dapat diselesaikan melalui inisiatif dan tindakan bersama. Kawasan Amazon berperan sentral menjaga stabilitas iklim global, maka pemerintahan Brazil kedepannya mengajak seluruh kalangan internasional untuk terlibat dalam mereduksi deforestasi dan degradasi hutan hingga ke titik terendah. Meskipun belum resmi dilantik sebagai presiden, dalam forum tersebut Lula telah mengadakan pertemuan khusus bersama pimpinan Indonesia dan DR Kongo sebagai negara-negara yang memiliki kawasan hutan luas. Ketiganya menyepakati tropical forest cooperation yang bertujuan memastikan eksistensi hutan tropis Amazon, Kalimantan, dan Congo Basin terlindungi dan bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat. Segala retorika dan langkah awal yang diperlihatkan Lula telah memberikan optimisme besar akan perbaikan situasi Amazon. Menarik untuk dinantikan apakah Pemerintahan Brazil di bawah Lula Da Silva mengembalikan kejayaan Hutan Amazon, atau sebaliknya dikalahkan oleh kompleksitas permasalahan dan besarnya tantangan yang dihadapi.